Rabu, 14 September 2011

Sang Peri Penjaga dan Malaikat Pelindungku


Kenangan Indah : Sang Peri Penjaga dan Malaikat Pelindungku
Dikala malam telah rapuh, kemudian shubuh telah bergema, kau bangunkan aku dengan lena kasih sayangmu. Sampai saat ini masih dapat kurasakan, ketika kau membelai lembut rambutku dengan tangan halusmu. Kau bisikan alunan merdu suaramu, pelan di samping kupingku. “Nak, dah shubuh...Ayow bangun..!!Ambil air wudhu..kemudian berangkat ke surau” hanya ucapan itu yang selalu kau ulang tiap hari, tapi entah mengapa tak pernah bosan ku mendengarnya. Kau siapkan peci usangku dan sarung motif kotak-kotak bekas milik suamimu itu, agar  indah kupakai  di hadapan-Nya. Bersama dengan suamimu, kau gendeng kedua tangan kecil ku untuk berangkat ke surau.
Sesampainya di surau kecil kampung halamanku, kau sengaja tinggalkan aku ke barisan shaf sholat milikmu. Kini kau bertukar peran dengan Ayah untuk membimbingku. Kemudian disamping laki-laki ini, ku belajar tentang bagaimana tatacara seorang manusia berhubungan dengan Tuhan. Mulai dari Takbir hingga salam, dan ditutup dengan tangan yang di tengadahkan keatas. Saat itu hanya terdengar lirih alunan doa dari mulutmu..Ayah. Kau selipkan namaku di segelintir doa yang terpanjat untuk Nya, agar aku sukses di kemudian kelak dan menjadi anak yang sholeh. Pelan tapi pasti, kulihat bening-bening itu menetes dari matamu, dan mengalir jatuh terpelanting ke tanah. Saat itu umurku masih 7 tahun, dan masih terlalu  polos untuk mengetahui makna dibalik semua itu. 

Selesai menjalankan sholat shubuh. Didepan surau kecil ini, kau dengan sabar menunggu ibuku dibelakang. Tanpa rasa malu, lalu kau genggam mestra tangan ibuku dengan cinta di setiap jemarinya. Hangat terasa moment itu, walaupun rintik hujan telah datang menyapa tubuhmu.  Dengan suara lantangmu, kau dengan gagah menawarkan punggungmu untuk ku. “Naiklah nak, jikalau kakimu mulai terasa capek”. Sejenak ingatan itu masih terekam jelas oleh otakku kecil ku, dan sampai saat ini masih kuikat kuat didalam chip memoriku.
Sesampainya di gubuk kecil kita, wanita sholehah itu menuju ke dapur.  Membuatkan secangkir teh hangat untuk Ayah, dan segelas susu putih untuk diriku. Kemudian Menyiapkan sarapan, pakaian dinas Ayah dan baju seragamku . Lalu dituntunnya diriku yang malas ini, untuk mandi  dan berangkat sekolah. Walaupun bisa mencuri kesempatan untuk sarapan dahulu, tapi tetap juga datang saat dimana aku harus bergantian mandi dengan Ayah. Akhirnya Ibu, kau paksa diriku untuk bercampur dengan air pagi nan dingin itu. Tapi dengan perhatianmu, dingin air pagi pun berubah menjadi segar air mandi yang membasuh kusam badanku. -
Kuliat jam dinding sudah menunjukan pukul 06.25 pagi. Dan mulai sudah sering aku mendengar suara ayam berkokok. Itu pertanda bagiku untuk segera berangkat sekolah. Tapi dingin tirai hujan masih belum jua tergulung henti,  dan berganti  dengan hangat sinar surya mentari. Seakan ingin menantang deras air hujan, Diambilnya jas hujan besar dari lemari baju coklat itu lalu kau keluarkan vespa buntutmu. Ayah... Betapa besar perjuanganmu untukku.  Pelan kau tuntun vespa itu, dan kau tutupi aku dengan jas hujan besarmu. Ku peluk erat kuat badanmu dari belakang, ketika vespa mulai berjalan pelan. Sakit mukamu di depan saat diterpa rintik hujan tertutup tulus keikhlasan yang dapat kurasakan dari hatimu. Hanya demi  mengantar anakmu berangkat sekolah, kau rela melakukan semua itu. Terima kasih Ayah..
Sepulang sekolah, Ku disambut dengan manis senyummu...Ibu. Senyum terindah yang seolah hanya tercipta untukku. Hangat menusuk kalbu dan pemberi warna dalam hidupku.  Kemudian lezat hidangan makan siang di meja dapur telah kau siapkan untuk mengisi perut laparku. Sebuah hidangan yang tiada pernah tertandingi selama hidupku. Karena tiap butir masakannya kau bumbui dengan cinta dan kasih sayangmu. Kau penuhi kebutuhan gizi bagi tubuh ini, kau juga penuhi nutrisi bagi jasmani dan rohaniku. Sehingga berkat dirimu, kudapat tumbuh dengan sempurna, layaknya manusia normal yang tidak kekurangan kebutuhannya. Terima kasih Ibuku sayang..
            Menjelang senja sore, kaliyan ikut mengawasi diriku saat bermain dengan teman-teman sebaya di kampung. Menjagaku apabila ada bahaya yang tidak terduga, seperti saat ku berkelahi atau adu mulut dengan teman-temanku. Kaliyan kemudian menjadi sosok pelindung, pembimbing serta pengarah yang baik atas sikap-sikap yang kulakukan. Walaupun saat itu kadang diriku tetap bandel, dan tidak menuruti arahan kalian untuk menghentikan perkelahian yang akhir cerita berujung pada tangisanku. Dan semua itu menjadikan kaliyan menjadi idola masa kanak-kanakku yang sesungguhnya ; bukan superman, bukan spiderman, bukan robocop, bukan power ranger, bukan satria baja hitam atau bukan juga doraemon.Tapi kaliyanlah Malaikat penjaga dan Bidadari Pelindungku.
            Dan pabila malam telah datang, kaliyan selimuti diriku dengan bait-bait doa peneduh jiwa. Al-hasil sebelum mataku mulai terpejam, hatiku menjadi tenang untuk menyambut mimpi-mimpi indah yang sudah siap kubayangkan. Terakhir  kaliyan tutup ritual kasih ini dengan kecupan sayang di kedua pipiku.

Kenangan indah nan tiada pernah bisa terlupakan. Namun sekarang hanya rasa K.A.N.G.E.N yang bisa kurasa. Di dalam perantauanku ini, Semua berbanding terbalik dengan hal indah yang kaliyan beri kepadaku. Disini, Tiap shubuh ku harus bangun sendiri untuk menghadap Illahi. Bahkan terkadang sampai lupa tidak sholat berjamaah akibat kelelahan mengerjakan tugas kuliah. Sekarang juga tiada pelindung dikala hujan turun saat ku pergi kampus. Sehingga ku sering bersahabat dengan flu dan demam. Tiada lagi perhatian dari seseorang yang selalu mengingatkan akan segarnya air mandi, sehingga terkadang dengan keadaan kusut , aku nekad pergi ke kampus. Jarang juga kutemui lagi makanan seenak masakanmu..Ibu, sehingga  aku sering lupa untuk sekedar mengisi perutku. Dan tiap malam-malamku, aku harus tidur sendiri berkabut kelam malam. Ayah—Ibu, Ku rindu kaliyan dikampung kecil tercinta kita.
            Tapi di kota besar perantauanku ini, Aku harus bersemangat demi menjaga harapan dan amanah kaliyan. Karena aku tau, kaliyan disana tidak tinggal diam. Demi melihat masa depanku cerah, kaliyan pasti juga tidak pernah berhenti  bekerja dan berdoa untukku. Sehingga dengan segenggam doa yang kaliyan titipkan, Aku bertekad harus belajar keras demi meraih cita-citaku. Dan membuat kaliyan bangga kepada anakmu ini. Pengorbanan kaliyan selama ini tidak pernah akan ku sia-siakan.  Ayah—Ibu, Kaliyan adalah kebahagiyaanku. Dan  Kesedihan kaliyan adalah aib bagiku.  Ku berjanji akan selalu menjaga senyum indah kaliyan. Dan itu akan adalah janjiku seumur hidup.
Ayah—Ibu, kaliyanlah sumber inspirasiku.
Ttd,
Anakmu.

0 komentar:

Posting Komentar